(Dr. Albinus L. Netti)
Gereja Yesus Kristus di
dalam dunia adalah suatu persekutuan beribadah yang diutus untuk bersaksi dan
melayani. Dengan demikian, gereja adalah suatu persekutuan yang terbuka. Juga
dengan ibadah-ibadahnya. Ibadah jemaat dengan segala unsurnya (pengakuan dosa,
pemberitaan anugerah, pemberitaan firman, persembahan, dll), adalah suatu
aktivitas missioner. Art Gish dalam salah satu tulisannya mengatakan bahwa
Alkitab sangat menekankan kaitan erat antara ibadah dan pelayanan. Baginya,
ibadah dan pelayanan adalah satu. Kita tidak dapat memisahkan aksi atau
tindakan dari ibadah. Michael Perry pun menekankan hal yang sama. Bahwa ibadah
mendorong kita untuk misi. Dalam ibadah, kita mendengarkan apa yang Allah mau
katakan kepada kita dan adalah tugas kita memberitakannya ke luar (band Mat
10:27). Tanpa ibadah, misi kehilangan kekuatannya; tanpa Allah, ibadah tidak
mempunyai kekuatan untuk menuntun kita kepada misi, sama seperti sebuah mobil
(bagaimanapun baik mesinnya) tidak mempunyai kekuatan untuk berjalan tanpa
bensin. Kisah Para Rasul 2:41-47, adalah contoh klasik yang memperlihatkan
dengan jelas hubungan antara ibadah dengan pemberitaan (= kesaksian) dan diakonia
atau dengan segala sesuatu yang dilakukan dalam kehidupan kita setiap hari (Rm
12:1; Rm 15:16,27; 2 Kor 9:12; Fip 2:17 dan Yak 1:27). Dan senada dengan itu,
kita temui juga dalam Perjanjian Lama (Yes 1:11-17; 58:1-1-12; Am 5:21-24).
Berdasarkan beberapa
catatan di atas, tepatlah bila dikatakan bahwa bilamana dalam ibadah dibacakan
dasafirman (= dekalog), maksudnya ialah supaya jemaat memakainya sebagai ukuran
atau norma bagi hidupnya di dunia. Doa yang diucapkan dalam ibadah, mau
dilanjutkan dalam doa jemaat di rumah dan dalam hidup anggota-anggota jemaat
setiap hari. Nyanyian jemaat adalah akta puji-pujian kepada Allah, yang harus
diperdengarkan juga pada hari-hari kerja. Pemberian kasih yang dikumpulkan
dalam ibadah jemaat adalah sebagian dari tugas diakonal kita dalam kehidupan
setiap hari dan tanggungjawab sosial kita terhadap orang-orang miskin dan
orang-orang yang berada di dalam kesusahan.
TATA
IBADAH
Ibadah jemaat
sebagaimana telah dikemukakan, adalah ibadah yang terbuka, yang tidak terbatas
pada hari minggu saja tetapi yang harus dilanjutkan dalam kesaksian dan
pelayanan. Jadi ibadah adalah misi yang di dalamnya dihidupkan api yang harus
menerangi seluruh dunia.
Dan
bilamana ibadah adalah misi sebagaimana diungkapkan di atas, maka tata ibadah
dengan segala unsurnya harus memungkinkan jemaat untuk melihat misinya itu
dengan jelas. Ibadah dan tata ibadah harus menuntun anggota-anggota jemaat
kepada keterarahan kepada Allah dan keterarahannya kepada manusia dan dunia
dalam pelayanannya.Tata ibadah bukan saja bentuk yang diperlukan dalam ibadah
agar dapat berlangsung dengan baik tetapi juga adalah alat yang Tuhan berkenan
pakai untuk menyampaikan Firman-Nya dalam ibadah jemaat. Tata ibadah tidak
boleh tertutup dan hanya satu saja fungsinya yaitu fungsi kebaktian dalam
batas-batas tembok gereja. Bila terjadi demikian, maka tata ibadah telah
kehilangan fungsinya sebagaimana diharapkan. Dengan perkataan lain, tata ibadah
haruslah melayani ibadah dalam keterarahannya ke dalam dunia, untuk
memberitakan dan diakui dalam ibadah jemaat. Dan untuk menyatakan kehadirannya
bukan saja dengan perkataan tetapi juga dengan perbuatan.
Dalam
terang apa yang dikatakan di atas, menurut pendapat saya, pembaharuan tata
ibadah dalam rangka ibadah jemaat hanya ada artinya bilamana ia memungkinkan
jemaat bukan saja untuk melihat hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga untuk
melihat tanggungjawab diakonalnya di dalam dunia. Itulah dimensi missioner dan
pastoral dari ibadah jemaat dan tata ibadahnya.
DUNIA
PENGHAYATAN JEMAAT
Penelitian
yang dilakukan oleh “Pusat Penelitian Agama dan Kebudayaan
Candraditya-Ledalero” (1989-1992), menunjukkan bahwa dunia penghayatan iman
jemaat dan anggota-anggota jemaat merupakan perpaduan yang erat antara dua sistem
kepercayaan, yang asli-lokal (religiositas lama) dan yang Kristen (Katolik)
dengan segala yang diwarisinya dari pekabar Injil-pekabar Injil perintis.
Gaya
hidup beriman demikian, bukan hanya terdapat di kalangan anggota-anggota jemaat
atau umat gereja Roma-Katolik, tetapi juga di kalangan anggota-anggota jemaat
Kristen-Protestan. Dalam kaitan dengan itu, anggota-anggota jemaat diminta
melalui tugas pastoral gereja untuk tetap berpegang teguh pada iman yang
diajarkan oleh gereja, dan melepaskan diri dari pengaruh konteks lama (agama
suku) yang dalam banyak hal masih mewarnai gaya hidup, pola sikap dan
tingkah-laku mereka. Berhadapan dengan tuntutan gereja yang demikian,
anggota-anggota jemaat pada umumnya mengambil sikap membuang segala sesuatu
yang menurut keyakinannya masih berbau kafir. Tetapi di balik itu, ada pula
anggota-anggota jemaat yang mengambil sikap taat terhadap ajaran gereja, namun
secara diam-diam ataupun secara terang-terangan masih mempraktikkan hal-hal
yang berhubungan dengan tuntutan atau gaya hidup religiositas dalam konteks
lama.
Dalam
sejarah GMIT tampak bahwa pergumulan gereja atau jemaat terhadap kenyataan di
atas masih tetap ada sampai dengan saat ini, sekalipun bobot keterikatan pada
konteks lama tidak sama seperti pada waktu-waktu lalu. Beberapa contoh di bawah
ini menunjukkan bahwa pengaruh konteks lama masih ada dan tampak dalam
pelayanan gereja atau jemaat.
a.
Yang berhubungan dengan Pelayanan
Baptisan
Dalam tata
ibadah pelayanan Baptisan, dicatat antara lain sebagai berikut:
Saudara-saudara yang dikasihi oleh Yesus
Kristus. Kamu telah mendengar bahwa Baptisan Kudus, adalah titah Allah sebagai
tanda Dia memeteraikan perjanjian-Nya kepada kita dan anak-anak kita. Sebab itu
hendaklah Baptisan dipakai untuk maksud itu dan bukan oleh kebiasaan atau
kepercayaan yang sia-sia.
b.
Yang berhubungan dengan Perjamuan Kudus
Perjamuan Kudus
dilaksanakan 4 atau 5 kali dalam setahun. Sebelum perayaan Perjamuan Kudus,
sesuai peraturan Perjamuan Kudus GMIT dikatakan:
Supaya anggota sidi dapat merayakan
Perjamuan Kudus dalam pemahaman yang benar, maka diadakan ibadah kelengkapan
dengan mempergunakan liturgi yang ditetapkan GMIT untuk maksud itu (Pasal 7).
Dalam tata ibadah kelengkapan
Perjamuan Kudus, terutama dalam penerimaan
dan penolakan, dikatakan:
Setiap orang
yang merasa demikian dalam hatinya, akan diterima Allah karena anugerah-Nya serta diperkenankan untuk turut merayakan
Perjamuan dari Anak-Nya Yesus Kristus. Tetapi yang tidak merasa demikian dalam
hatinya, dinasihatkan Allah agar jangan merayakan Perjamuan Kudus. Nasihat ini
ditujukan kepada setiap orang yang mencela Firman Allah serta
Sakramen-sakramen, yang menyembah berhala dan patung-patung dan yang memuja
orang-orang yang telah meninggal, malaikat atau makhluk lain; yang percaya
kepada kekuatan-kekuatan rahasia, yang bersumpah palsu yang menimbulkan
perpecahan dan pendurhakaan dalam gereja dan jemaat Tuhan. Selama mereka itu
masih tetap hidup di dalam dosa, mereka haruslah menahan dirinya dari
persekutuan di dalam Kristus melalui Perjamuan Kudus.
c.
Yang Berhubungan dengan Pemakaman Orang
Mati
Peraturan
disiplin GMIT mencatat:
Segala kebiasaan sekitar pemakaman yang
mengingatkan kepada praktik agama suku tidak diperkenankan. Yang dimaksudkan
dengan kebiasaan yang mengingatkan kepada praktik agama suku antara lain:
v Berbicara kepada
si mati,
v Mengikutsertakan
Alkitab atau surat-surat gerejawi, barang-barang berharga dalam peti si mati, mete-mete (melek-melekan) di rumah duka dan
peringatan hari ke-3, hari atau malam ke-7, ke-9, ke-40 dan satu tahun,
v Penyiraman air
di kepala salah seorang anggota keluarga dari orang yang telah meninggal, dan
v Penyediaan
tempat tidur yang ditaburi rampai pada saat kebaktian pengucapan syukur, dan
lain-lain.
Beberapa kutipan yang
diungkapkan di atas menunjukkan bahwa melalui pelayanan dan
peraturan-peraturannya, GMIT berusaha agar anggota-anggotanya tetap setia dan
taat kepada ajaran-ajaran gereja berdasarkan kesaksian Alkitab. Tetapi di balik
itu, kutipan-kutipan di atas juga menunjukkan bahwa pengaruh-pengaruh konteks
lama (agama suku) dalam banyak hal masih mempengaruhi gaya hidup
anggota-anggota jemaat. Penelitian yang saya lakukan beberapa waktu lalu di
Timor Tengah Selatan (TTS) menggambarkan hal itu dengan jelas.
Tanggapan magis
mengenai kehadiran Allah di dalam ibadah jemaat terutama pada perayaan Perjamuan
Kudus sangat terasa. Perjamuan Kudus menjadi suatu daerah atau lingkungan yang menuntut
setiap orang yang hendak mengambil bagian di dalamnya harus memenuhi syarat
agar tidak mendatangkan kesulitan baginya. Mengikuti Perjamuan Kudus bagaikan
memasuki suatu tempat yang bagi orang Timor sesuai kepercayaan lamanya adalah le’u dan karena itu adalah nuni (= tabu, keramat). Dalam suatu
percakapan dengan Pdt. Ebenhaizer Nuban Timo, yang pernah bekerja dan melayani
di pedalaman Timor Tengah Selatan, saya mendapatkan penjelasan bahwa di dalam
jemaat-jemaat Wilayah Kependetaan Oenai persiapan untuk perayaan Perjamuan
Kudus merupakan saat-saat yang kualitatif dianggap jauh lebih penting dari
hari-hari ibadah lainnya (mis. Ibadah pada hari Minggu). Di jemaat-jemaat dalam
wilayah kependetaan ini persiapan untuk Perjamuan Kudus dilakukan sebanyak dua
kali. Yang pertama, dilakukan di rayon-rayon (melalui perkunjungan penatua,
utusan injil atau pendeta) dan kedua, ibadah kelengkapan (di GMIT biasanya
disebut gereja sedia) secara umum dalam ibadah di tempat kebaktian jemaat
(biasanya dilakukan sehari sebelum Perjamuan Kudus dilaksanakan). Roti dan
anggur harus dipersiapkan dengan baik. Sebelum roti perjamuan dibuat, didahului
dengan doa oleh pendeta atau utusan injil. Roti dibuat oleh istri pendeta,
ibu-ibu penatua atau diaken atau utusan injil. Selama pembuatan roti, tidak
boleh ada pertengkaran, sebab bila terjadi pertengkaran maka roh roti itu akan
hilang (Jemaat Fatubia TTS). Di jemaat Oenai roti hanya boleh dipotong oleh
pendeta. Pemahaman yang magis juga berlaku untuk pelayanan baptisan. Di jemaat
Neke (TTS), air baptisan diambil dari sumur atau dari sumber mata air tertentu
hanya oleh pendeta. Hal ini mengingatkan kita pada praktik agama suku, di mana
air untuk ritus penyucian hanya boleh diambil oleh imam kafir atau tobe (= tuan tanah).
Berbagai praktik yang
ada kaitannya dengan praktik agama suku juga terjadi pada upacara pemakaman. Berbicara
dengan si mati, menyiram rampai di tempat tidur, di sudut-sudut jalan ke tempat
pemakaman, meletakkan sirih-pinang di pekuburan menjadi hal yang tidak asing.
Begitu pula dengan mengikutsertakan surat baptis, surat sidi dalam peti si mati
selalu saja terjadi baik di jemaat-jemaat kota, maupun jemaat-jemaat pedesaan.
Entah disadari atau tidak, praktik tersebut mengingatkan orang pada tato di
kalangan suku Timor yang menunjuk dari mana orang tersebut dan agar ia tidak
sesat di jalan dalam perjalanan ke gunung batu asal (= fatu kanaf). Sama seperti orang Timor, begitu pula suku-suku lain
di NTT masing-masing mempunyai gunung batu asalnya sendiri. Dan sudah tentu
bagi setiap suku atau marga gunung batu asal atau batu nama mempunyai makna
yang sangat penting bagi keluarga atau marganya.
TATA
IBADAH KONTEKSTUAL
Tim Penyusun Liturgi (=
Tata Ibadah) Majelis Sinode GMIT telah menyusun bahan-bahan Liturgi (=Tata Ibadah) yang
dipakai dalam ibadah Jemaat selama bulan bahasa dan budaya, terdiri dari 5
model Liturgi (=Tata Ibadah), yakni: Liturgi (=Tata Ibadah) menurut etnis
Alor-Pantar, etnis Timor Tengah Selatan, etnis Rote, multi etnis dan etnis
Sabu.
Saya
sangat bergembira membaca suara Gembala Majelis Sinode dalam rangka perayaan
Bulan Bahasa dan Budaya tahun 2017. Di sana, dalam Bulan Bahasa dan Budaya itu
ditekankan bahwa:
v Bahasa
dan budaya merupakan anugerah Allah bagi manusia….
v Memahami
budaya sebagai cara hidup dan bahasa sebagai alat berkomunikasi: keduanya
sangat penting dalam pelayanan….
v Cara
menghargai bahasa dan budaya adalah selalu mendialogkan dan memanfaatkannya
sebagai sarana pelayanan.
v Dalam
rangka perayaan bulan bahasa dan budaya GMIT telah mempersiapkan beberapa produk
Liturgi berupa Tata Ibadah Jemaat yang bisa dipakai sebagai model pengembangan
pelayanan berbasis bahasa dan budaya.
Tetapi ketika saya
membaca tata kebaktian yang berbasis bahasa dan budaya itu saya tertegun dan
itu menuntun saya untuk membuat suatu perenungan dan refleksi singkat terhadap
apa yang ditampilkan dalam Tata Kebaktian-Tata Kebaktian tersebut. Saya yakin, anggota-anggota jemaat pun ada
yang ingin mengetahui dan mempertanyakannya:
v Mengapa
dan untuk apa ditampilkan dalam atraksi pembuka: tiupan keong, bunyi gong Alor,
gong kreatif Alor, teriak gaya Alor? Atraksi semacam ini terlihat dan terdengar
di semua Tata Ibadah berbasis budaya. Tata Ibadah etnis Timor Tengah Selatan
(TTS), etnis Rote, multietnis dan etnis Sabu.
v Mengapa
dan untuk apa ditampilkan berbagai macam tarian Lego-lego, Te’o Renda, Pado’a, Maekat, Bonet dari setiap
etnis?
v Mengapa
dan untuk apa ceritera tentang seseorang yang ketika meninggal dibawa ke kampung
arwah, dan ketika tiba di sana ia disambut dengan satu tarian, yaitu Soli, beberapa orang membentuk lingkaran
yang di tengahnya ada mazbah, ada tambur dan ada gong, lalu pemimpin tarian
mengucapkan pantun diikuti teriakan “Yo” (iya) sambil berkeliling menghentakkan
kaki sesuai irama gong dan tambur?
v Mengapa
dan untuk apa masuk seseorang ke ruang ibadah dengan berpakaian etnis, sambil berjalan,
menunduk siap memanah dan mengangkat busur panah?
v Begitu
juga mengapa dan untuk apa seseorang dari arah depan masuk ke ruang ibadah
sambil mengangkat pedang lalu berteriak dalam bahasa etnis tertentu?
v Mengapa
dan untuk apa pelayan turun dari mimbar mencabut pedang dan berteriak gaya
etnis tertentu, kemudian menyanyi bersahutan dengan kantoria dan jemaat?
v Mengapa
dan untuk apa, musik gong dengan tarian Teo
Renda menyertai pelayan, dilanjutkan dengan pemasangan simbol
adat/selendang atau Ti’i Langga, lalu
pelayan berjabatan tangan dengan
pendamping?
v Mengapa
dan untuk apakah pakaian adat dengan segala aksesorinya dipakai untuk menari-nari dalam ibadah?
v Mengapa
dan untuk apa seorang pelayan memakai pakaian kebesaran sebagai seorang raja [karena
kebetulan ia adalah seorang bangsawan, putera seorang raja] berdiri dan dari
atas mimbar berkhotbah? Dan apakah jemaat [para pendengar] adalah rakyat?
Tidak, seorang pendeta
adalah pelayan yang diutus Allah untuk memberitakan firman Allah. Ia tidak
berdiri lebih tinggi atau di atas jemaat, tetapi ia berdiri di sana dengan
tugas khusus dan bersama-sama jemaat/anggota-anggota jemaat berada di hadapan Allah, untuk memuliakan
nama-Nya sebagai respons atas perbuatan Allah yang besar dalam Kristus. Oleh
dan di dalam Kristus harga keselamatan telah dibayar untuk manusia dan dunia.
Terciptalah suatu tata hidup baru, di mana relasi antara Allah dan manusia dan
sesamanya dan antara manusia dan dunia diperbaharui. Perpisahan dihapuskan.
Bukan lagi perbedaan yang ditonjolkan tetapi persekutuan. Tidak ada
diskriminasi. Di hadapan Allah, orang miskin, orang kaya, yang punya nama, dan
yang tidak punya nama, tunawisma, tunakarya, yang terhormat dan yang tidak
terhormat, para pengemis, semuanya sama ditempatkan Allah dalam karya
penebusan-Nya. Sama seperti Kristus, kita pun harus menaruh keprihatinan penuh
terhadap mereka yang terpinggirkan, diperlakukan dengan tidak adil, dan
sebagainya. Ibadah yang benar, berarti: relasi dengan Allah tidak mungkin
berlangsung tanpa manifestasinya yang konkret dalam seluruh aspek relasi
kemasyarakatan kita. Jika ini adalah pola hidup kita dan mewarnai seluruh aspek
keibadahan kita, maka dengan demikian, kita telah menyatakan kesetiaan kita
kepada Kristus dalam arti yang sebenar-benarnya.
Beberapa contoh yang
saya angkat dari Tata Ibadah-Tata Ibadah etnis yang ditampilkan selama bulan
bahasa dan budaya menunjukkan betapa terjalin begitu erat antara adat istiadat
dan budaya berbagai etnis dan Injil, sejak “Atraksi Pembuka” sampai “Prosesi
Ibadah”. Terjadilah perpaduan dan penyesuaian (adaptasi) antara Injil dan
berita Alkitab dengan adat-istiadat dan budaya, dan itu terjadi dalam ibadah
jemaat. Dari aspek seni sangat menarik. Ibadah menjadi semakin semarak dan
meriah. Hal ini teologis tidak dapat dipertanggungjawabkan, sebab ia
bertentangan dengan hakikat ibadah.
Ibadah sebagaimana
dikatakan oleh Edward K. Ziegler, adalah jawaban manusia terhadap kelembutan
hati, kasih yang tidak ada bandingnya, kesucian yang sempurna dan kebesaran
Allah yang mengagumkan. Ibadah berarti membuka hati kita kepada Allah dan hidup
bersama Dia. Ibadah adalah jawaban manusia terhadap undangan Kristus.
Wilhelm Hahn dalam
bukunya Worship and Congregation mengungkap hal ini juga. Ia katakan
bahwa ibadah adalah suatu peristiwa bermakna ganda, atau dengan kata lain,
ibadah adalah suatu peristiwa dengan dua pokok perbuatan atau tindakan Allah
untuk kita dan jawaban kita terhadap-Nya melalui apa yang kita lakukan. Kedua
hal itu, yaitu tindakan Allah dan jawaban kita sekalipun berbeda tetapi tidak
dapat dipisahkan. Kegiatan kita di dalam ibadah hanya dapat terjadi sebagai
akibat dari tindakan Allah yang atas inisiatif-Nya sendiri di dalam Kristus
menjumpai manusia dan melayaninya.
Dalam suara gembala
majelis Sinode, jelas menunjukkan bahwa bahasa dan budaya sebagai anugerah
Allah bagi manusia tidak boleh dibiarkan punah. Sebab kepunahan bahasa dan
budaya tertentu, merupakan musibah bagi kelestarian manusia dan alam. Memahami
budaya sebagai cara hidup dan bahasa sebagai alat komunikasi, keduanya sangat
penting dalam pelayanan. Tetapi itu tidak dengan sendirinya, mengharuskan kita,
menampilkan sesuatu tanpa pertimbangan yang mendalam dan/atau matang dalam
ibadah jemaat, melalui bentuk-bentuk Liturgis (Tata Ibadah) etnis di setiap
minggu selama bulan bahasa dan budaya, bulan Mei, 2017 yang lalu. Sebab dengan
menempatkan semuanya dalam ibadah jemaat (dari atraksi pembuka sampai prosesi
ibadah), membuat ibadah jemaat berubah sifatnya menjadi sebuah
pertunjukkan/festival seni dan budaya etnis. Ada penari dan individu-individu
yang ditetapkan mengisi tata ibadah etnis dalam ibadah, tapi gaung dari
berbagai atraksi pembukaan sampai prosesi ibadah dan seterusnya mempunyai bobot
yang jauh lebih besar, ketimbang bagian terbesar dari jemaat/anggota-anggota jemaat
yang merespon perbuatan Allah dalam Kristus, hanya pada bagian-bagian tertentu.
(Misalnya: ketika bernyanyi, mengucapkan pembacaan mazmur dan pengakuan iman
secara berbalas-balasan).
Akibatnya
jemaat/anggota-anggota jemaat yang hadir dalam ibadah ditempatkan sebagai
pendengar dan penonton dalam ibadah. Peranannya diambil alih oleh demikian
banyaknya atraksi yang berlangsung dalam ibadah dan individu-individu yang
diberi peranan untuk mengisi tata ibadah tersebut. Ini tidak benar.
Dengan demikian entah
disadari atau tidak dunia penghayatan iman jemaat seperti yang saya ungkapkan
di atas, makin bertambah besar bobotnya, dengan adanya bentuk-bentuk Liturgis (Tata
Ibadah) etnis yang ditampilkan dalam minggu-minggu selama bulan bahasa dan
budaya, jemaat dan anggota-anggota jemaat terperangkap dalam pola peribadahan
yang “sinkretistis.”
Ketika Israel
menjejakkan kakinya di Kanaan, mereka bukan saja menghadapi suasana baru,
tetapi juga tantangan baru. Sebagai pendatang baru, mereka bukan saja berada di
suatu lingkungan yang subur, tetapi mereka juga diperhadapkan dengan
bangsa-bangsa yang telah terlebih dahulu menjadi penghuni Kanaan, yang jauh
lebih maju, lebih tinggi kebudayaannya dan giat dalam agamanya.
Di bidang peribadahan,
lambat laun terjadilah pembauran dengan dunia Kanaan, bukan saja dengan
kebudayaannya, tetapi juga dengan agamanya yang penuh dengan atraksi-atraksi
dan rahasia-rahasia keagamaan yang dalam. Pada zaman Hakim-Hakim, pengaruh
Kanaan di bidang peribadahan sangat besar. Dengan tidak ragu-ragu, mereka tidak
berkeberatan untuk mengambil alih:
v Tempat-tempat
ibadah yang sejak berabad-abad dipergunakan penduduk asli
v Cerita-cerita
mengenai asal-usul tempat-tempat keramat, pengaruh itu kentara dengan jelas di
dalam cerita-cerita keramat dari Pniel (Kej 28), Mamre (Kej 18) dan Moria (Kej
22).
v Beberapa
cara ibadah orang-orang Kanaan diambil alih, berikut alat-alatnya, antara lain
berbagai jenis korban, tugu-tugu dari batu (Ibrani:masseba, Kej 28:18),
tiang-tiang dari kayu (Ibr. Asyera, Hak. 6:25; Ul. 16:21). Juga sebutan-sebutan
ilahi yang lazim di Kanaan, diambil alih, dan lain-lain.
Dengan ini Israel
mengalami proses Kanaanisasi. Hal ini menunjukkan seolah-olah Israel tidak lagi
beribadah pada Tuhan, melainkan sebaliknya, umat Tuhan itu bagaikan tercaplok
oleh pengaruh agama Kanaan, malah belajar beribadah menurut teladan orang-orang
Kanaan. Tidak dapat disangkal bahwa unsur-unsur yang diambil alih dari agama
Kanaan sebagai akibat dari proses Kanaanisasi sungguh memperkaya ibadah Israel.
Namun dengan kemajuan proses Kanaanisasi dari Ibadah Israel itu, makin bertambah
besarlah bahaya siskretisme. Kitab-kitab Perjanjian Lama (PL) memberi kesaksian
dengan penuh syukur, bahwa Tuhan tetap mengawasi dan menjagai umat-Nya. Dialah
yang membangunkan kesadaran terhadap bahaya siskretisme yang mengancam
umat-Nya. Terdengarlah suara-suara peringatan dari tengah-tengah umat itu,
entah dari seorang nabi (I Rj. 16:1;17:1) atau seorang nazir Allah (Hak.13:5;
Am.2:11;) dsb. Lama-kelamaan suara itu tidak dapat didiamkan lagi, maka
berkumpullah umat itu untuk mencari jalan keluar dari bahaya itu. Israel mulai
mengambil sikap yang kritis. Ciri-ciri tertentu dari agama Kanaan mulai
dikenali sebagai perangkap dan jerat yang sangat membahayakan identitas dan
eksistensi mereka (Kej.23:33; 34:12;Ul.7:16;Yos. 23:13).
Demikianlah pengalaman
Israel menunjukkan bahwa di dalam segala kelemahannya, pasang surut diganti
dengan pasang naik, proses Kanaanisasi diganti dengan proses Israelisasi, di
mana segala sesuatu boleh dipakai untuk kemuliaan Tuhan, tetapi dilepaskan dari
konteks lamanya. Gaung semacam ini juga terdengar dalam Perjanjian Baru (PB).
Itulah kemungkinan yang
bisa terjadi, bilamana upaya-upaya kita untuk menciptakan baik teologi
kontekstual, maupun bentuk-bentuk liturgis atau tata ibadah kontekstual
berbasis budaya etnis, tanpa kritis, maka kita akan terperangkap dalam apa yang
dapat kita sebut proses Timorisasi,
Rotenisasi, Alorisasi, Sabunisasi dan sebagainya seperti yang dialami Israel.
Kita harus keluar dari perangkap-perangkap itu dalam upaya-upaya kontekstualisasi
yang kita lakukan, pada peringatan 70 tahun GMIT berdiri sendiri dan 500 tahun
reformasi.
Sudah saatnya GMIT
keluar dari perangkap seni dan budaya yang dibuatnya sendiri. Berbagai atraksi
seni dan budaya boleh kita pakai sebagai alat kesaksian, tetapi tempatnya tidak
dalam ibadah jemaat, kita dapat menggunakan tempat-tempat pertemuan jemaat
(aula) dan tempat-tempat pertemuan lain dimana berbagai atraksi budaya, pakaian
adat dan sebagainya dipentaskan. Namun hal ini harus dilakukan secara selektif
tidak diambil alih begitu saja. Sudah saatnya juga pawai akbar Paskah yang
setiap tahun dilakukan diganti dengan pawai akbar seni dan budaya.
Nyanyian-nyanyian rakyat setelah diproses menjadi nyanyian jemaat dinyanyikan,
di mana semuanya menunjuk dan memberi kesaksian tentang peristiwa Yesus. Di
mana para penari memakai busana adat dalam rangka melestarikan budaya tenun
ikat. Dengan demikian, Yesus yang sakit menderita sengsara baik secara fisik
maupun psikis pada saat tiap kali pawai paskah tidak dijadikan tontonan umum
dan menjadi obyek pariwisata.
Dalam upaya kita untuk
menciptakan bentuk-bentuk liturgis (Tata Ibadah) kontekstual dalam GMIT,
sejarah mencatat bahwa upaya untuk menciptakan bentuk-bentuk liturgis
kontekstual bukanlah hal yang baru. Ini telah terjadi dimana saja Injil
diberitakan di berbagai belahan dunia,
juga di Indonesia. Khususnya di GMIT upaya seperti itu telah dirintis
jauh sebelum GMIT berdiri sendiri sebagaimana terlihat dalam karya-karya Ds. P.
Middelkoop, seorang pendeta Belanda yang paling lama bekerja di Timor
(1922-1957). Middelkoop berhasil “mengenakan pakaian Timor”, untuk merealisasikan tugas dan panggilannya
guna memberitakan Injil kepada orang Timor.
Pada tahun 1928, ia
dapat menghasilkan buah pertama dari usahanya di bidang bahasa dan kebudayaan
Atoin Meto, yaitu buku bacaan Perjanjian Baru dalam bahasa daerah. Sepuluh
tahun kemudian menyusullah, buku bacaan Perjanjian Lama (ceritera dari kitab
Kejadian), dan pada tahun 1941 terbit bacaan dari Perjanjian Baru (Injil Lukas
dan Kisah Para Rasul). Sesudah perang dunia kedua, ia menyelesaikan
penerjemahan seluruh Perjanjian Baru (kecuali surat Ibrani). Ia juga
menerjemahkan Mazmur dan Nyanyian Rohani ke dalam bahasa daerah, dengan nama Si Knino
Unu ma Muni.
Selain itu, di bidang
peribadahan jemaat ia juga menyusun Tata Ibadah-tata ibadah untuk jemaat-jemaat
yang berbahasa daerah (Tata Ibadah Baptisan, Perjamuan Kudus, dan lain-lain) di
mana pada bagian-bagian tertentu ia menggunakan gaya bahasa yang khas dalam
kebudayaan Atoin Meto, yaitu “natonis”
atau “basan” (cara berbahasa yang
diungkapkan secara berbalas-balasan), misalnya, dalam pertanyaan dan jawaban
jemaat yang mengikuti perjamuan sebagaimana terdapat dalam Si Knino Unu Ma Muni, juga dalam Si Knino Unu Ma Muni 171, dinyanyikan dengan gaya atau cara
bernyanyi bonet, mengenai panggilan
dan penugasan Yunus ke Niniwe. Semua hasil karya Middelkoop tersebut di atas
mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan peribadahan jemaat dan
kehidupan rohani Atoin Meto. Sayang sekali upaya Middelkoop tersebut di atas
(khususnya di bidang peribadahan) tidak diteruskan sesudah GMIT berdiri
sendiri.
Dalam
kaitan dengan berbagai upaya untuk menciptakan bentuk-bentuk liturgis yang
kontekstual, saya mencatat beberapa hal sebagai berikut:
a. Dalam
setiap upaya pembaharuan liturgi (tata ibadah), kita harus bertanya:
v Apakah
jemaat dan anggota-anggota jemaat sungguh tertolong oleh pembaharuan Liturgi (Tata
Ibadah) dan dibina menuju suatu penghayatan iman yang lebih realistis dan
aspiratif (dimensi pastoral)
v Apakah
pembaruan Liturgi (Tata Ibadah) itu mulai memberikan sumbangan dan memajukan
apa saja yang dapat membantu persekutuan orang-orang yang percaya kepada
Kristus (dimensi oikumenis).
v Apakah
pembaharuan Liturgi (Tata Ibadah) yang dilakukan itu menolong jemaat dan
anggota-anggota jemaat untuk melihat panggilannya sebagai persekutuan yang
bersaksi dan melayani (dimensi missioner).
Pertanyaan-pertanyaan evaluatif di atas sangat
penting untuk direnungkan, karena daya guna perayaan-perayaan liturgi tidak
terletak dalam diadakannya banyak eksperimen dan pembaharuan tata ibadah atau
dalam penyederhanaan bentuk-bentuknya atau dalam kemeriahan, melainkan dalam
mendalami firman Tuhan dan dalam menghayati makna liturgi (= ibadah) bagi
persekutuan, kesaksian dan pelayanan.
b. Bahwa
kontekstualisasi liturgi atau bentuk-bentuk liturgis bukanlah sekedar usaha
ganti kulit atau baju. Ia bukanlah suatu usaha akomodatif atau penyesuaian
dengan kebudayaan. Karena itu, pemanfaatan unsur-unsur budaya dalam rangka
ibadah dan pembangunan jemaat bukan saja membutuhkan suatu penelitian yang
mendalam, tetapi juga suatu pertimbangan teologis yang dapat
dipertanggungjawabkan.
c. Bahwa
secara teologis tidak tepat bila kita mau berusaha secara mati-matian menciptakan
bentuk-bentuk liturgis yang murni pribumi. Hal itu bukan saja tidak mungkin,
tetapi juga berbahaya: ia dapat memimpin kita masuk ke dalam perbudakan lain,
yaitu perbudakan budaya. Kita harus sadar, bahwa tempat tumpah darah kita tidak
dapat menentukan utilitas liturgis kita. Karena itu, kita tidak dapat
mengikatkan diri kita pada apapun di dunia ini, kecuali pada Yesus Kristus.
Tugas kita ialah terus-menerus berusaha untuk mendapatkan bentuk liturgis yang
baru sebagai wahana yang baik dan relevan dari jawaban jemaat dan aklamasinya
terhadap Firman yang diberitakan kepadanya.
TUGAS
PASTORAT GEREJA
Gambaran singkat
mengenai dunia penghayatan anggota-anggota jemaat di atas adalah situasi pastoral
yang dihadapi oleh gereja. Persoalannya adalah bagaimana sikap pastoral gereja
menghadapi masalah tersebut. Dalam kaitan dengan ini menurut pendapat saya
sikap pastoral gereja yang tepat bukanlah sikap menolak atau menghakimi dengan
begitu saja kebudayaan sesuatu suku
bangsa, adat-istiadatnya dengan gaya hidup beragamanya yang lama. Pemanfaatan
seni dan budaya tidak dengan sendirinya dianggap buruk dan karena itu harus
dibuang. Juga bukanlah sikap pastoral yang tepat bilamana terhadap kebudayaan
dengan segala aspeknya itu gereja mengambil sikap menyesuaikan diri (adaptasi)
atau menerima tanpa pertimbangan-pertimbangan teologis yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Upaya
kontekstualisasi yang dibuat oleh gereja
dengan memanfaatkan unsur-unsur budaya dalam ibadah adalah tanda bahwa
kebudayaan dengan segala aspeknya tidak selalu dapat dikatakan buruk tetapi
dapat dipakai untuk memuliakan Tuhan. Dalam Perjanjian Lama (PL) kita baca
bahwa di mana Yahwe berfirman, di situlah para allah terpaksa bungkam.
Kebudayaan, kesusasteraan, kesenian musik dan lain-lain diambil dan digunakan
untuk melayani Tuhan. Bahkan ibadahpun dilepaskan dari kuasa-kuasa dewa
setempat. Bentuk lama dipakai dan diberi isi baru. Demikian juga dalam
Perjanjian Baru (PB): dimana Yesus diakui, disanalah segala sesuatu menjadi
baru. Di dalam Dia segala sesuatu dapat dipakai, asal hal itu digunakan dengan
baik. Segala apa yang baik dapat dipakai untuk kemuliaan Tuhan dan untuk keselamatan
manusia, tetapi dilepaskan dari suasana keagamaannya, dan dari kuasa yang lama.
Dan dalam memakainya kita juga harus berhati-hati dan tidak boleh dipakai
secara sembarangan.
Di
sinilah letaknya tanggungjawab pelayanan dan tugas pastorat gereja, bahwa yang
hendak kita capai dalam pelayanan jemaat bukanlah hanya pembangunan gereja atau
jemaat sebagai pusat kegiatan liturgis dalam artinya yang luas tetapi juga
pembangunan keluarga sebagai persekutuan yang beribadah, bersaksi, dan melayani
dalam segala bidang kehidupan. Sebab keluarga bukan saja inti jemaat, tetapi
keluarga adalah tempat yang pertama di mana katekese diberikan dan lingkungan
pertama di mana anak-anak belajar percaya jauh sebelum gereja campur tangan
dengan katekesenya.
Agar
gereja dapat melaksanakan tugas pastoratnya dengan baik, maka suatu penelitian
yang sungguh-sungguh tentang dunia penghayatan jemaat/anggota-angota jemaat
sangat dibutuhkan. Seringkali penyusunan tata ibadah, program pelayanan,
pembinaan, dan sebagainya disusun “dari atas” (maksudnya: dari kantor gereja)
tanpa mengetahui “dunia penghayatan anggota-anggota jemaat”. Mereka tidak
bertanya, apakah semua yang mereka kerjakan itu berfungsi atau tidak bagi
respon dan aklamasi jemaat. Ataukah apa yang mereka kerjakan menyentuh
kebutuhan dan pergumulan anggota-anggota jemaat atau tidak.
Kiranya
GMIT di hari ulang tahun ke-70 dan 500 tahun reformasi harus selalu siap
membaharui dirinya, pelayanan dan kesaksiannya menghadapi tantangan perubahan
yang begitu cepat dan semakin canggih. Ecclesia Reformata Semper Reformanda,
semakin relevan diberlakukan. Dalam persekutuan dengan Tuhan tidak ada yang
mustahil.Semoga!
DAFTAR
PUSTAKA
Abineno,J.L.Ch.
“Jemaat”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1983
…………, Tata Ibadah Kita
Perlu Ditinjau Ulang, dalam Berita Oikumene, Majalah Bulanan PGI, no.180, Juli,
1991
Banawiratma, J.B.
Menjernihkan Inkulturasi, dalam Bina Liturgi I, Komisi Liturgi, MAWI,
Jakarta:Penerbit Obor, 1985
Buletin Candraditya,
“Pusat penelitian Agama dan Kebudayaan Candraditya-Ledalero
Davies J.G., Worship
and Mission, London:SCM Press Ltd, 1966
Gish,
Art Living in Christian Community. Scottdale, USA: Herald Press, 1979
Hahn,
Willem Worship and Congregation, London: Lutther Worth Press, 1963
Majelis Sinode, Bahasa
dan Budaya sebagai Sarana Pembaharuan, Kupang: 2017
Middelkoop, P. Atoni
Pah Meto, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980
……………… , Si Knino Unu
Ma Muni, Bandung: n.d.
Perry, Micahel The
Paradox of Worship, London: SPCK, 1977
Robinson J.A.T.,
Honest to God, London: SCM Press Ltd., 1963
Stolk, S.J, H.C. dalam
Pembaharuan Liturgi, Seri Pastoral no.7, Yohyakarta; Pusat Pastoral, 1979
Ziegler, Edward K. A
Book of Worship for Village Churches, New York: Agricultural Mission, Inc, 1946
Kuyper, Arie de,
Missiologia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985
Tidak ada komentar:
Posting Komentar