Senin, 06 November 2017

Ibadah Dan Misi



(Dr. Albinus L. Netti)


Gereja Yesus Kristus di dalam dunia adalah suatu persekutuan beribadah yang diutus untuk bersaksi dan melayani. Dengan demikian, gereja adalah suatu persekutuan yang terbuka. Juga dengan ibadah-ibadahnya. Ibadah jemaat dengan segala unsurnya (pengakuan dosa, pemberitaan anugerah, pemberitaan firman, persembahan, dll), adalah suatu aktivitas missioner. Art Gish dalam salah satu tulisannya mengatakan bahwa Alkitab sangat menekankan kaitan erat antara ibadah dan pelayanan. Baginya, ibadah dan pelayanan adalah satu. Kita tidak dapat memisahkan aksi atau tindakan dari ibadah. Michael Perry pun menekankan hal yang sama. Bahwa ibadah mendorong kita untuk misi. Dalam ibadah, kita mendengarkan apa yang Allah mau katakan kepada kita dan adalah tugas kita memberitakannya ke luar (band Mat 10:27). Tanpa ibadah, misi kehilangan kekuatannya; tanpa Allah, ibadah tidak mempunyai kekuatan untuk menuntun kita kepada misi, sama seperti sebuah mobil (bagaimanapun baik mesinnya) tidak mempunyai kekuatan untuk berjalan tanpa bensin. Kisah Para Rasul 2:41-47, adalah contoh klasik yang memperlihatkan dengan jelas hubungan antara ibadah dengan pemberitaan (= kesaksian) dan diakonia atau dengan segala sesuatu yang dilakukan dalam kehidupan kita setiap hari (Rm 12:1; Rm 15:16,27; 2 Kor 9:12; Fip 2:17 dan Yak 1:27). Dan senada dengan itu, kita temui juga dalam Perjanjian Lama (Yes 1:11-17; 58:1-1-12; Am 5:21-24).
Ibadah yang terbuka selalu solider menghubungkan kita dengan orang lain dan mendorong kita untuk berdoa: “Ini aku, utuslah aku !” (Yes 6:8). Spiritualitas masa kini digambarkan oleh Uskup Anglikan Robinson dalam doa sebagai berikut: “pengalaman saya sendiri ialah bahwa saya baru sesungguhnya berdoa bagi orang lain, bergumul dengan Allah bagi mereka, jika saya sungguh-sungguh bertemu dengan mereka dan sungguh membuka jiwa saya bagi mereka. Hanya dalam hubungan yang demikian, Roh Allah bisa menampung keluh-kesah kita itu menjadi doa”. Dan tentang ibadah, ia katakan: “Ibadah yang benar, ialah bagaimana membuat ia lebih peka terhadap Kristus dalam yang lapar, yang telanjang, tuna wisma dan orang-orang terpenjara. Hanya jika kita sanggup mengenal Dia di situ sesudah kita beribadah, maka ibadah itu barulah sungguh-sungguh ibadah Kristen dan bukan sekedar religiositas dalam pakaian Kristen.
Berdasarkan beberapa catatan di atas, tepatlah bila dikatakan bahwa bilamana dalam ibadah dibacakan dasafirman (= dekalog), maksudnya ialah supaya jemaat memakainya sebagai ukuran atau norma bagi hidupnya di dunia. Doa yang diucapkan dalam ibadah, mau dilanjutkan dalam doa jemaat di rumah dan dalam hidup anggota-anggota jemaat setiap hari. Nyanyian jemaat adalah akta puji-pujian kepada Allah, yang harus diperdengarkan juga pada hari-hari kerja. Pemberian kasih yang dikumpulkan dalam ibadah jemaat adalah sebagian dari tugas diakonal kita dalam kehidupan setiap hari dan tanggungjawab sosial kita terhadap orang-orang miskin dan orang-orang yang berada di dalam kesusahan.

TATA IBADAH
Ibadah jemaat sebagaimana telah dikemukakan, adalah ibadah yang terbuka, yang tidak terbatas pada hari minggu saja tetapi yang harus dilanjutkan dalam kesaksian dan pelayanan. Jadi ibadah adalah misi yang di dalamnya dihidupkan api yang harus menerangi seluruh dunia.
            Dan bilamana ibadah adalah misi sebagaimana diungkapkan di atas, maka tata ibadah dengan segala unsurnya harus memungkinkan jemaat untuk melihat misinya itu dengan jelas. Ibadah dan tata ibadah harus menuntun anggota-anggota jemaat kepada keterarahan kepada Allah dan keterarahannya kepada manusia dan dunia dalam pelayanannya.Tata ibadah bukan saja bentuk yang diperlukan dalam ibadah agar dapat berlangsung dengan baik tetapi juga adalah alat yang Tuhan berkenan pakai untuk menyampaikan Firman-Nya dalam ibadah jemaat. Tata ibadah tidak boleh tertutup dan hanya satu saja fungsinya yaitu fungsi kebaktian dalam batas-batas tembok gereja. Bila terjadi demikian, maka tata ibadah telah kehilangan fungsinya sebagaimana diharapkan. Dengan perkataan lain, tata ibadah haruslah melayani ibadah dalam keterarahannya ke dalam dunia, untuk memberitakan dan diakui dalam ibadah jemaat. Dan untuk menyatakan kehadirannya bukan saja dengan perkataan tetapi juga dengan perbuatan.
            Dalam terang apa yang dikatakan di atas, menurut pendapat saya, pembaharuan tata ibadah dalam rangka ibadah jemaat hanya ada artinya bilamana ia memungkinkan jemaat bukan saja untuk melihat hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga untuk melihat tanggungjawab diakonalnya di dalam dunia. Itulah dimensi missioner dan pastoral dari ibadah jemaat dan tata ibadahnya.

DUNIA PENGHAYATAN JEMAAT
            Penelitian yang dilakukan oleh “Pusat Penelitian Agama dan Kebudayaan Candraditya-Ledalero” (1989-1992), menunjukkan bahwa dunia penghayatan iman jemaat dan anggota-anggota jemaat merupakan perpaduan yang erat antara dua sistem kepercayaan, yang asli-lokal (religiositas lama) dan yang Kristen (Katolik) dengan segala yang diwarisinya dari pekabar Injil-pekabar Injil perintis.
            Gaya hidup beriman demikian, bukan hanya terdapat di kalangan anggota-anggota jemaat atau umat gereja Roma-Katolik, tetapi juga di kalangan anggota-anggota jemaat Kristen-Protestan. Dalam kaitan dengan itu, anggota-anggota jemaat diminta melalui tugas pastoral gereja untuk tetap berpegang teguh pada iman yang diajarkan oleh gereja, dan melepaskan diri dari pengaruh konteks lama (agama suku) yang dalam banyak hal masih mewarnai gaya hidup, pola sikap dan tingkah-laku mereka. Berhadapan dengan tuntutan gereja yang demikian, anggota-anggota jemaat pada umumnya mengambil sikap membuang segala sesuatu yang menurut keyakinannya masih berbau kafir. Tetapi di balik itu, ada pula anggota-anggota jemaat yang mengambil sikap taat terhadap ajaran gereja, namun secara diam-diam ataupun secara terang-terangan masih mempraktikkan hal-hal yang berhubungan dengan tuntutan atau gaya hidup religiositas dalam konteks lama.
            Dalam sejarah GMIT tampak bahwa pergumulan gereja atau jemaat terhadap kenyataan di atas masih tetap ada sampai dengan saat ini, sekalipun bobot keterikatan pada konteks lama tidak sama seperti pada waktu-waktu lalu. Beberapa contoh di bawah ini menunjukkan bahwa pengaruh konteks lama masih ada dan tampak dalam pelayanan gereja atau jemaat.
a.       Yang berhubungan dengan Pelayanan Baptisan
Dalam tata ibadah pelayanan Baptisan, dicatat antara lain sebagai berikut:
Saudara-saudara yang dikasihi oleh Yesus Kristus. Kamu telah mendengar bahwa Baptisan Kudus, adalah titah Allah sebagai tanda Dia memeteraikan perjanjian-Nya kepada kita dan anak-anak kita. Sebab itu hendaklah Baptisan dipakai untuk maksud itu dan bukan oleh kebiasaan atau kepercayaan yang sia-sia.
b.      Yang berhubungan dengan Perjamuan Kudus
Perjamuan Kudus dilaksanakan 4 atau 5 kali dalam setahun. Sebelum perayaan Perjamuan Kudus, sesuai peraturan Perjamuan Kudus GMIT dikatakan:
Supaya anggota sidi dapat merayakan Perjamuan Kudus dalam pemahaman yang benar, maka diadakan ibadah kelengkapan dengan mempergunakan liturgi yang ditetapkan GMIT untuk maksud itu (Pasal 7).
            Dalam tata ibadah kelengkapan Perjamuan Kudus, terutama dalam penerimaan
           dan  penolakan, dikatakan:
Setiap orang yang merasa demikian dalam hatinya, akan diterima Allah karena  anugerah-Nya serta diperkenankan untuk turut merayakan Perjamuan dari Anak-Nya Yesus Kristus. Tetapi yang tidak merasa demikian dalam hatinya, dinasihatkan Allah agar jangan merayakan Perjamuan Kudus. Nasihat ini ditujukan kepada setiap orang yang mencela Firman Allah serta Sakramen-sakramen, yang menyembah berhala dan patung-patung dan yang memuja orang-orang yang telah meninggal, malaikat atau makhluk lain; yang percaya kepada kekuatan-kekuatan rahasia, yang bersumpah palsu yang menimbulkan perpecahan dan pendurhakaan dalam gereja dan jemaat Tuhan. Selama mereka itu masih tetap hidup di dalam dosa, mereka haruslah menahan dirinya dari persekutuan di dalam Kristus melalui Perjamuan Kudus.

c.       Yang Berhubungan dengan Pemakaman Orang Mati
Peraturan disiplin GMIT mencatat:
Segala kebiasaan sekitar pemakaman yang mengingatkan kepada praktik agama suku tidak diperkenankan. Yang dimaksudkan dengan kebiasaan yang mengingatkan kepada praktik agama suku antara lain:
v  Berbicara kepada si mati,
v  Mengikutsertakan Alkitab atau surat-surat gerejawi, barang-barang berharga dalam peti si mati, mete-mete (melek-melekan) di rumah duka dan peringatan hari ke-3, hari atau malam ke-7, ke-9, ke-40 dan satu tahun,
v  Penyiraman air di kepala salah seorang anggota keluarga dari orang yang telah meninggal, dan
v  Penyediaan tempat tidur yang ditaburi rampai pada saat kebaktian pengucapan syukur, dan lain-lain.

Beberapa kutipan yang diungkapkan di atas menunjukkan bahwa melalui pelayanan dan peraturan-peraturannya, GMIT berusaha agar anggota-anggotanya tetap setia dan taat kepada ajaran-ajaran gereja berdasarkan kesaksian Alkitab. Tetapi di balik itu, kutipan-kutipan di atas juga menunjukkan bahwa pengaruh-pengaruh konteks lama (agama suku) dalam banyak hal masih mempengaruhi gaya hidup anggota-anggota jemaat. Penelitian yang saya lakukan beberapa waktu lalu di Timor Tengah Selatan (TTS) menggambarkan hal itu dengan jelas.
Tanggapan magis mengenai kehadiran Allah di dalam ibadah jemaat terutama pada perayaan Perjamuan Kudus sangat terasa. Perjamuan Kudus menjadi suatu daerah atau lingkungan yang menuntut setiap orang yang hendak mengambil bagian di dalamnya harus memenuhi syarat agar tidak mendatangkan kesulitan baginya. Mengikuti Perjamuan Kudus bagaikan memasuki suatu tempat yang bagi orang Timor sesuai kepercayaan lamanya adalah le’u dan karena itu adalah nuni (= tabu, keramat). Dalam suatu percakapan dengan Pdt. Ebenhaizer Nuban Timo, yang pernah bekerja dan melayani di pedalaman Timor Tengah Selatan, saya mendapatkan penjelasan bahwa di dalam jemaat-jemaat Wilayah Kependetaan Oenai persiapan untuk perayaan Perjamuan Kudus merupakan saat-saat yang kualitatif dianggap jauh lebih penting dari hari-hari ibadah lainnya (mis. Ibadah pada hari Minggu). Di jemaat-jemaat dalam wilayah kependetaan ini persiapan untuk Perjamuan Kudus dilakukan sebanyak dua kali. Yang pertama, dilakukan di rayon-rayon (melalui perkunjungan penatua, utusan injil atau pendeta) dan kedua, ibadah kelengkapan (di GMIT biasanya disebut gereja sedia) secara umum dalam ibadah di tempat kebaktian jemaat (biasanya dilakukan sehari sebelum Perjamuan Kudus dilaksanakan). Roti dan anggur harus dipersiapkan dengan baik. Sebelum roti perjamuan dibuat, didahului dengan doa oleh pendeta atau utusan injil. Roti dibuat oleh istri pendeta, ibu-ibu penatua atau diaken atau utusan injil. Selama pembuatan roti, tidak boleh ada pertengkaran, sebab bila terjadi pertengkaran maka roh roti itu akan hilang (Jemaat Fatubia TTS). Di jemaat Oenai roti hanya boleh dipotong oleh pendeta. Pemahaman yang magis juga berlaku untuk pelayanan baptisan. Di jemaat Neke (TTS), air baptisan diambil dari sumur atau dari sumber mata air tertentu hanya oleh pendeta. Hal ini mengingatkan kita pada praktik agama suku, di mana air untuk ritus penyucian hanya boleh diambil oleh imam kafir atau tobe (= tuan tanah).
Berbagai praktik yang ada kaitannya dengan praktik agama suku juga terjadi pada upacara pemakaman. Berbicara dengan si mati, menyiram rampai di tempat tidur, di sudut-sudut jalan ke tempat pemakaman, meletakkan sirih-pinang di pekuburan menjadi hal yang tidak asing. Begitu pula dengan mengikutsertakan surat baptis, surat sidi dalam peti si mati selalu saja terjadi baik di jemaat-jemaat kota, maupun jemaat-jemaat pedesaan. Entah disadari atau tidak, praktik tersebut mengingatkan orang pada tato di kalangan suku Timor yang menunjuk dari mana orang tersebut dan agar ia tidak sesat di jalan dalam perjalanan ke gunung batu asal (= fatu kanaf). Sama seperti orang Timor, begitu pula suku-suku lain di NTT masing-masing mempunyai gunung batu asalnya sendiri. Dan sudah tentu bagi setiap suku atau marga gunung batu asal atau batu nama mempunyai makna yang sangat penting bagi keluarga atau marganya.

TATA IBADAH KONTEKSTUAL
Tim Penyusun Liturgi (= Tata Ibadah) Majelis Sinode GMIT telah menyusun     bahan-bahan Liturgi (=Tata Ibadah) yang dipakai dalam ibadah Jemaat selama bulan bahasa dan budaya, terdiri dari 5 model Liturgi (=Tata Ibadah), yakni: Liturgi (=Tata Ibadah) menurut etnis Alor-Pantar, etnis Timor Tengah Selatan, etnis Rote, multi etnis dan etnis Sabu.
            Saya sangat bergembira membaca suara Gembala Majelis Sinode dalam rangka perayaan Bulan Bahasa dan Budaya tahun 2017. Di sana, dalam Bulan Bahasa dan Budaya itu ditekankan bahwa:
v Bahasa dan budaya merupakan anugerah Allah bagi manusia….
v Memahami budaya sebagai cara hidup dan bahasa sebagai alat berkomunikasi: keduanya sangat penting dalam pelayanan….
v Cara menghargai bahasa dan budaya adalah selalu mendialogkan dan memanfaatkannya sebagai sarana pelayanan.
v Dalam rangka perayaan bulan bahasa dan budaya GMIT telah mempersiapkan beberapa produk Liturgi berupa Tata Ibadah Jemaat yang bisa dipakai sebagai model pengembangan pelayanan berbasis bahasa dan budaya.
Tetapi ketika saya membaca tata kebaktian yang berbasis bahasa dan budaya itu saya tertegun dan itu menuntun saya untuk membuat suatu perenungan dan refleksi singkat terhadap apa yang ditampilkan dalam Tata Kebaktian-Tata Kebaktian tersebut.  Saya yakin, anggota-anggota jemaat pun ada yang ingin mengetahui dan mempertanyakannya:
v Mengapa dan untuk apa ditampilkan dalam atraksi pembuka: tiupan keong, bunyi gong Alor, gong kreatif Alor, teriak gaya Alor? Atraksi semacam ini terlihat dan terdengar di semua Tata Ibadah berbasis budaya. Tata Ibadah etnis Timor Tengah Selatan (TTS), etnis Rote, multietnis dan etnis Sabu.
v Mengapa dan untuk apa ditampilkan berbagai macam tarian Lego-lego, Te’o Renda, Pado’a, Maekat, Bonet dari setiap etnis?
v Mengapa dan untuk apa ceritera tentang seseorang yang ketika meninggal dibawa ke kampung arwah, dan ketika tiba di sana ia disambut dengan satu tarian, yaitu Soli, beberapa orang membentuk lingkaran yang di tengahnya ada mazbah, ada tambur dan ada gong, lalu pemimpin tarian mengucapkan pantun diikuti teriakan “Yo” (iya) sambil berkeliling menghentakkan kaki sesuai irama gong dan tambur?
v Mengapa dan untuk apa masuk seseorang ke ruang ibadah dengan berpakaian etnis, sambil berjalan, menunduk siap memanah dan mengangkat busur panah?
v Begitu juga mengapa dan untuk apa seseorang dari arah depan masuk ke ruang ibadah sambil mengangkat pedang lalu berteriak dalam bahasa etnis tertentu?
v Mengapa dan untuk apa pelayan turun dari mimbar mencabut pedang dan berteriak gaya etnis tertentu, kemudian menyanyi bersahutan dengan kantoria dan jemaat?
v Mengapa dan untuk apa, musik gong dengan tarian Teo Renda menyertai pelayan, dilanjutkan dengan pemasangan simbol adat/selendang atau Ti’i Langga, lalu pelayan  berjabatan tangan dengan pendamping?
v Mengapa dan untuk apakah pakaian adat dengan segala aksesorinya  dipakai untuk menari-nari dalam ibadah?
v Mengapa dan untuk apa seorang pelayan memakai pakaian kebesaran sebagai seorang raja [karena kebetulan ia adalah seorang bangsawan, putera seorang raja] berdiri dan dari atas mimbar berkhotbah? Dan apakah jemaat [para pendengar]  adalah rakyat?
Tidak, seorang pendeta adalah pelayan yang diutus Allah untuk memberitakan firman Allah. Ia tidak berdiri lebih tinggi atau di atas jemaat, tetapi ia berdiri di sana dengan tugas khusus dan bersama-sama jemaat/anggota-anggota jemaat  berada di hadapan Allah, untuk memuliakan nama-Nya sebagai respons atas perbuatan Allah yang besar dalam Kristus. Oleh dan di dalam Kristus harga keselamatan telah dibayar untuk manusia dan dunia. Terciptalah suatu tata hidup baru, di mana relasi antara Allah dan manusia dan sesamanya dan antara manusia dan dunia diperbaharui. Perpisahan dihapuskan. Bukan lagi perbedaan yang ditonjolkan tetapi persekutuan. Tidak ada diskriminasi. Di hadapan Allah, orang miskin, orang kaya, yang punya nama, dan yang tidak punya nama, tunawisma, tunakarya, yang terhormat dan yang tidak terhormat, para pengemis, semuanya sama ditempatkan Allah dalam karya penebusan-Nya. Sama seperti Kristus, kita pun harus menaruh keprihatinan penuh terhadap mereka yang terpinggirkan, diperlakukan dengan tidak adil, dan sebagainya. Ibadah yang benar, berarti: relasi dengan Allah tidak mungkin berlangsung tanpa manifestasinya yang konkret dalam seluruh aspek relasi kemasyarakatan kita. Jika ini adalah pola hidup kita dan mewarnai seluruh aspek keibadahan kita, maka dengan demikian, kita telah menyatakan kesetiaan kita kepada Kristus dalam arti yang sebenar-benarnya.
Beberapa contoh yang saya angkat dari Tata Ibadah-Tata Ibadah etnis yang ditampilkan selama bulan bahasa dan budaya menunjukkan betapa terjalin begitu erat antara adat istiadat dan budaya berbagai etnis dan Injil, sejak “Atraksi Pembuka” sampai “Prosesi Ibadah”. Terjadilah perpaduan dan penyesuaian (adaptasi) antara Injil dan berita Alkitab dengan adat-istiadat dan budaya, dan itu terjadi dalam ibadah jemaat. Dari aspek seni sangat menarik. Ibadah menjadi semakin semarak dan meriah. Hal ini teologis tidak dapat dipertanggungjawabkan, sebab ia bertentangan dengan hakikat ibadah.
Ibadah sebagaimana dikatakan oleh Edward K. Ziegler, adalah jawaban manusia terhadap kelembutan hati, kasih yang tidak ada bandingnya, kesucian yang sempurna dan kebesaran Allah yang mengagumkan. Ibadah berarti membuka hati kita kepada Allah dan hidup bersama Dia. Ibadah adalah jawaban manusia terhadap undangan Kristus.
Wilhelm Hahn dalam bukunya Worship and Congregation mengungkap hal ini juga. Ia katakan bahwa ibadah adalah suatu peristiwa bermakna ganda, atau dengan kata lain, ibadah adalah suatu peristiwa dengan dua pokok perbuatan atau tindakan Allah untuk kita dan jawaban kita terhadap-Nya melalui apa yang kita lakukan. Kedua hal itu, yaitu tindakan Allah dan jawaban kita sekalipun berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan. Kegiatan kita di dalam ibadah hanya dapat terjadi sebagai akibat dari tindakan Allah yang atas inisiatif-Nya sendiri di dalam Kristus menjumpai manusia dan melayaninya.
Dalam suara gembala majelis Sinode, jelas menunjukkan bahwa bahasa dan budaya sebagai anugerah Allah bagi manusia tidak boleh dibiarkan punah. Sebab kepunahan bahasa dan budaya tertentu, merupakan musibah bagi kelestarian manusia dan alam. Memahami budaya sebagai cara hidup dan bahasa sebagai alat komunikasi, keduanya sangat penting dalam pelayanan. Tetapi itu tidak dengan sendirinya, mengharuskan kita, menampilkan sesuatu tanpa pertimbangan yang mendalam dan/atau matang dalam ibadah jemaat, melalui bentuk-bentuk Liturgis (Tata Ibadah) etnis di setiap minggu selama bulan bahasa dan budaya, bulan Mei, 2017 yang lalu. Sebab dengan menempatkan semuanya dalam ibadah jemaat (dari atraksi pembuka sampai prosesi ibadah), membuat ibadah jemaat berubah sifatnya menjadi sebuah pertunjukkan/festival seni dan budaya etnis. Ada penari dan individu-individu yang ditetapkan mengisi tata ibadah etnis dalam ibadah, tapi gaung dari berbagai atraksi pembukaan sampai prosesi ibadah dan seterusnya mempunyai bobot yang jauh lebih besar, ketimbang bagian terbesar dari jemaat/anggota-anggota jemaat yang merespon perbuatan Allah dalam Kristus, hanya pada bagian-bagian tertentu. (Misalnya: ketika bernyanyi, mengucapkan pembacaan mazmur dan pengakuan iman secara berbalas-balasan).
Akibatnya jemaat/anggota-anggota jemaat yang hadir dalam ibadah ditempatkan sebagai pendengar dan penonton dalam ibadah. Peranannya diambil alih oleh demikian banyaknya atraksi yang berlangsung dalam ibadah dan individu-individu yang diberi peranan untuk mengisi tata ibadah tersebut. Ini tidak benar.
Dengan demikian entah disadari atau tidak dunia penghayatan iman jemaat seperti yang saya ungkapkan di atas, makin bertambah besar bobotnya, dengan adanya bentuk-bentuk Liturgis (Tata Ibadah) etnis yang ditampilkan dalam minggu-minggu selama bulan bahasa dan budaya, jemaat dan anggota-anggota jemaat terperangkap dalam pola peribadahan yang “sinkretistis.”
Ketika Israel menjejakkan kakinya di Kanaan, mereka bukan saja menghadapi suasana baru, tetapi juga tantangan baru. Sebagai pendatang baru, mereka bukan saja berada di suatu lingkungan yang subur, tetapi mereka juga diperhadapkan dengan bangsa-bangsa yang telah terlebih dahulu menjadi penghuni Kanaan, yang jauh lebih maju, lebih tinggi kebudayaannya dan giat dalam agamanya.
Di bidang peribadahan, lambat laun terjadilah pembauran dengan dunia Kanaan, bukan saja dengan kebudayaannya, tetapi juga dengan agamanya yang penuh dengan atraksi-atraksi dan rahasia-rahasia keagamaan yang dalam. Pada zaman Hakim-Hakim, pengaruh Kanaan di bidang peribadahan sangat besar. Dengan tidak ragu-ragu, mereka tidak berkeberatan untuk mengambil alih:
v Tempat-tempat ibadah yang sejak berabad-abad dipergunakan penduduk asli
v Cerita-cerita mengenai asal-usul tempat-tempat keramat, pengaruh itu kentara dengan jelas di dalam cerita-cerita keramat dari Pniel (Kej 28), Mamre (Kej 18) dan Moria (Kej 22).
v Beberapa cara ibadah orang-orang Kanaan diambil alih, berikut alat-alatnya, antara lain berbagai jenis korban, tugu-tugu dari batu (Ibrani:masseba, Kej 28:18), tiang-tiang dari kayu (Ibr. Asyera, Hak. 6:25; Ul. 16:21). Juga sebutan-sebutan ilahi yang lazim di Kanaan, diambil alih, dan lain-lain.
Dengan ini Israel mengalami proses Kanaanisasi. Hal ini menunjukkan seolah-olah Israel tidak lagi beribadah pada Tuhan, melainkan sebaliknya, umat Tuhan itu bagaikan tercaplok oleh pengaruh agama Kanaan, malah belajar beribadah menurut teladan orang-orang Kanaan. Tidak dapat disangkal bahwa unsur-unsur yang diambil alih dari agama Kanaan sebagai akibat dari proses Kanaanisasi sungguh memperkaya ibadah Israel. Namun dengan kemajuan proses Kanaanisasi dari Ibadah Israel itu, makin bertambah besarlah bahaya siskretisme. Kitab-kitab Perjanjian Lama (PL) memberi kesaksian dengan penuh syukur, bahwa Tuhan tetap mengawasi dan menjagai umat-Nya. Dialah yang membangunkan kesadaran terhadap bahaya siskretisme yang mengancam umat-Nya. Terdengarlah suara-suara peringatan dari tengah-tengah umat itu, entah dari seorang nabi (I Rj. 16:1;17:1) atau seorang nazir Allah (Hak.13:5; Am.2:11;) dsb. Lama-kelamaan suara itu tidak dapat didiamkan lagi, maka berkumpullah umat itu untuk mencari jalan keluar dari bahaya itu. Israel mulai mengambil sikap yang kritis. Ciri-ciri tertentu dari agama Kanaan mulai dikenali sebagai perangkap dan jerat yang sangat membahayakan identitas dan eksistensi mereka (Kej.23:33; 34:12;Ul.7:16;Yos. 23:13).
Demikianlah pengalaman Israel menunjukkan bahwa di dalam segala kelemahannya, pasang surut diganti dengan pasang naik, proses Kanaanisasi diganti dengan proses Israelisasi, di mana segala sesuatu boleh dipakai untuk kemuliaan Tuhan, tetapi dilepaskan dari konteks lamanya. Gaung semacam ini juga terdengar dalam Perjanjian Baru (PB).
Itulah kemungkinan yang bisa terjadi, bilamana upaya-upaya kita untuk menciptakan baik teologi kontekstual, maupun bentuk-bentuk liturgis atau tata ibadah kontekstual berbasis budaya etnis, tanpa kritis, maka kita akan terperangkap dalam apa yang dapat kita sebut  proses Timorisasi, Rotenisasi, Alorisasi, Sabunisasi dan sebagainya seperti yang dialami Israel. Kita harus keluar dari perangkap-perangkap itu dalam upaya-upaya kontekstualisasi yang kita lakukan, pada peringatan 70 tahun GMIT berdiri sendiri dan 500 tahun reformasi.
Sudah saatnya GMIT keluar dari perangkap seni dan budaya yang dibuatnya sendiri. Berbagai atraksi seni dan budaya boleh kita pakai sebagai alat kesaksian, tetapi tempatnya tidak dalam ibadah jemaat, kita dapat menggunakan tempat-tempat pertemuan jemaat (aula) dan tempat-tempat pertemuan lain dimana berbagai atraksi budaya, pakaian adat dan sebagainya dipentaskan. Namun hal ini harus dilakukan secara selektif tidak diambil alih begitu saja. Sudah saatnya juga pawai akbar Paskah yang setiap tahun dilakukan diganti dengan pawai akbar seni dan budaya. Nyanyian-nyanyian rakyat setelah diproses menjadi nyanyian jemaat dinyanyikan, di mana semuanya menunjuk dan memberi kesaksian tentang peristiwa Yesus. Di mana para penari memakai busana adat dalam rangka melestarikan budaya tenun ikat. Dengan demikian, Yesus yang sakit menderita sengsara baik secara fisik maupun psikis pada saat tiap kali pawai paskah tidak dijadikan tontonan umum dan  menjadi obyek pariwisata.
Dalam upaya kita untuk menciptakan bentuk-bentuk liturgis (Tata Ibadah) kontekstual dalam GMIT, sejarah mencatat bahwa upaya untuk menciptakan bentuk-bentuk liturgis kontekstual bukanlah hal yang baru. Ini telah terjadi dimana saja Injil diberitakan di berbagai belahan dunia,  juga di Indonesia. Khususnya di GMIT upaya seperti itu telah dirintis jauh sebelum GMIT berdiri sendiri sebagaimana terlihat dalam karya-karya Ds. P. Middelkoop, seorang pendeta Belanda yang paling lama bekerja di Timor (1922-1957). Middelkoop berhasil “mengenakan pakaian Timor”,  untuk merealisasikan tugas dan panggilannya guna memberitakan Injil kepada orang Timor.
Pada tahun 1928, ia dapat menghasilkan buah pertama dari usahanya di bidang bahasa dan kebudayaan Atoin Meto, yaitu buku bacaan Perjanjian Baru dalam bahasa daerah. Sepuluh tahun kemudian menyusullah, buku bacaan Perjanjian Lama (ceritera dari kitab Kejadian), dan pada tahun 1941 terbit bacaan dari Perjanjian Baru (Injil Lukas dan Kisah Para Rasul). Sesudah perang dunia kedua, ia menyelesaikan penerjemahan seluruh Perjanjian Baru (kecuali surat Ibrani). Ia juga menerjemahkan  Mazmur dan Nyanyian Rohani ke dalam bahasa daerah, dengan nama  Si Knino Unu ma Muni.
Selain itu, di bidang peribadahan jemaat ia juga menyusun Tata Ibadah-tata ibadah untuk jemaat-jemaat yang berbahasa daerah (Tata Ibadah Baptisan, Perjamuan Kudus, dan lain-lain) di mana pada bagian-bagian tertentu ia menggunakan gaya bahasa yang khas dalam kebudayaan Atoin Meto, yaitu “natonis” atau “basan” (cara berbahasa yang diungkapkan secara berbalas-balasan), misalnya, dalam pertanyaan dan jawaban jemaat yang mengikuti perjamuan sebagaimana terdapat dalam Si Knino Unu Ma Muni, juga dalam Si Knino Unu Ma Muni 171, dinyanyikan dengan gaya atau cara bernyanyi bonet, mengenai panggilan dan penugasan Yunus ke Niniwe. Semua hasil karya Middelkoop tersebut di atas mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan peribadahan jemaat dan kehidupan rohani Atoin Meto. Sayang sekali upaya Middelkoop tersebut di atas (khususnya di bidang peribadahan) tidak diteruskan sesudah GMIT berdiri sendiri.
            Dalam kaitan dengan berbagai upaya untuk menciptakan bentuk-bentuk liturgis yang kontekstual, saya mencatat beberapa hal sebagai berikut:
a.    Dalam setiap upaya pembaharuan liturgi (tata ibadah), kita harus bertanya:
v Apakah jemaat dan anggota-anggota jemaat sungguh tertolong oleh pembaharuan Liturgi (Tata Ibadah) dan dibina menuju suatu penghayatan iman yang lebih realistis dan aspiratif (dimensi pastoral)
v Apakah pembaruan Liturgi (Tata Ibadah) itu mulai memberikan sumbangan dan memajukan apa saja yang dapat membantu persekutuan orang-orang yang percaya kepada Kristus (dimensi oikumenis).
v Apakah pembaharuan Liturgi (Tata Ibadah) yang dilakukan itu menolong jemaat dan anggota-anggota jemaat untuk melihat panggilannya sebagai persekutuan yang bersaksi dan melayani (dimensi missioner).
Pertanyaan-pertanyaan evaluatif di atas sangat penting untuk direnungkan, karena daya guna perayaan-perayaan liturgi tidak terletak dalam diadakannya banyak eksperimen dan pembaharuan tata ibadah atau dalam penyederhanaan bentuk-bentuknya atau dalam kemeriahan, melainkan dalam mendalami firman Tuhan dan dalam menghayati makna liturgi (= ibadah) bagi persekutuan, kesaksian dan pelayanan.
b.    Bahwa kontekstualisasi liturgi atau bentuk-bentuk liturgis bukanlah sekedar usaha ganti kulit atau baju. Ia bukanlah suatu usaha akomodatif atau penyesuaian dengan kebudayaan. Karena itu, pemanfaatan unsur-unsur budaya dalam rangka ibadah dan pembangunan jemaat bukan saja membutuhkan suatu penelitian yang mendalam, tetapi juga suatu pertimbangan teologis yang dapat dipertanggungjawabkan.
c.    Bahwa secara teologis tidak tepat bila kita mau berusaha secara mati-matian menciptakan bentuk-bentuk liturgis yang murni pribumi. Hal itu bukan saja tidak mungkin, tetapi juga berbahaya: ia dapat memimpin kita masuk ke dalam perbudakan lain, yaitu perbudakan budaya. Kita harus sadar, bahwa tempat tumpah darah kita tidak dapat menentukan utilitas liturgis kita. Karena itu, kita tidak dapat mengikatkan diri kita pada apapun di dunia ini, kecuali pada Yesus Kristus. Tugas kita ialah terus-menerus berusaha untuk mendapatkan bentuk liturgis yang baru sebagai wahana yang baik dan relevan dari jawaban jemaat dan aklamasinya terhadap Firman yang diberitakan kepadanya.


TUGAS PASTORAT GEREJA    
Gambaran singkat mengenai dunia penghayatan anggota-anggota jemaat di atas adalah situasi pastoral yang dihadapi oleh gereja. Persoalannya adalah bagaimana sikap pastoral gereja menghadapi masalah tersebut. Dalam kaitan dengan ini menurut pendapat saya sikap pastoral gereja yang tepat bukanlah sikap menolak atau menghakimi dengan begitu saja kebudayaan sesuatu suku  bangsa, adat-istiadatnya dengan gaya hidup beragamanya yang lama. Pemanfaatan seni dan budaya tidak dengan sendirinya dianggap buruk dan karena itu harus dibuang. Juga bukanlah sikap pastoral yang tepat bilamana terhadap kebudayaan dengan segala aspeknya itu gereja mengambil sikap menyesuaikan diri (adaptasi) atau menerima tanpa pertimbangan-pertimbangan teologis yang dapat dipertanggungjawabkan.
            Upaya  kontekstualisasi yang dibuat oleh gereja dengan memanfaatkan unsur-unsur budaya dalam ibadah adalah tanda bahwa kebudayaan dengan segala aspeknya tidak selalu dapat dikatakan buruk tetapi dapat dipakai untuk memuliakan Tuhan. Dalam Perjanjian Lama (PL) kita baca bahwa di mana Yahwe berfirman, di situlah para allah terpaksa bungkam. Kebudayaan, kesusasteraan, kesenian musik dan lain-lain diambil dan digunakan untuk melayani Tuhan. Bahkan ibadahpun dilepaskan dari kuasa-kuasa dewa setempat. Bentuk lama dipakai dan diberi isi baru. Demikian juga dalam Perjanjian Baru (PB): dimana Yesus diakui, disanalah segala sesuatu menjadi baru. Di dalam Dia segala sesuatu dapat dipakai, asal hal itu digunakan dengan baik. Segala apa yang baik dapat dipakai untuk kemuliaan Tuhan dan untuk keselamatan manusia, tetapi dilepaskan dari suasana keagamaannya, dan dari kuasa yang lama. Dan dalam memakainya kita juga harus berhati-hati dan tidak boleh dipakai secara sembarangan.
            Di sinilah letaknya tanggungjawab pelayanan dan tugas pastorat gereja, bahwa yang hendak kita capai dalam pelayanan jemaat bukanlah hanya pembangunan gereja atau jemaat sebagai pusat kegiatan liturgis dalam artinya yang luas tetapi juga pembangunan keluarga sebagai persekutuan yang beribadah, bersaksi, dan melayani dalam segala bidang kehidupan. Sebab keluarga bukan saja inti jemaat, tetapi keluarga adalah tempat yang pertama di mana katekese diberikan dan lingkungan pertama di mana anak-anak belajar percaya jauh sebelum gereja campur tangan dengan katekesenya.
            Agar gereja dapat melaksanakan tugas pastoratnya dengan baik, maka suatu penelitian yang sungguh-sungguh tentang dunia penghayatan jemaat/anggota-angota jemaat sangat dibutuhkan. Seringkali penyusunan tata ibadah, program pelayanan, pembinaan, dan sebagainya disusun “dari atas” (maksudnya: dari kantor gereja) tanpa mengetahui “dunia penghayatan anggota-anggota jemaat”. Mereka tidak bertanya, apakah semua yang mereka kerjakan itu berfungsi atau tidak bagi respon dan aklamasi jemaat. Ataukah apa yang mereka kerjakan menyentuh kebutuhan dan pergumulan anggota-anggota jemaat atau tidak.
            Kiranya GMIT di hari ulang tahun ke-70 dan 500 tahun reformasi harus selalu siap membaharui dirinya, pelayanan dan kesaksiannya menghadapi tantangan perubahan yang begitu cepat dan semakin canggih. Ecclesia Reformata Semper Reformanda, semakin relevan diberlakukan. Dalam persekutuan dengan Tuhan tidak ada yang mustahil.Semoga!

DAFTAR PUSTAKA
Abineno,J.L.Ch. “Jemaat”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1983
…………, Tata Ibadah Kita Perlu Ditinjau Ulang, dalam Berita Oikumene, Majalah Bulanan PGI, no.180, Juli, 1991
Banawiratma, J.B. Menjernihkan Inkulturasi, dalam Bina Liturgi I, Komisi Liturgi, MAWI, Jakarta:Penerbit Obor, 1985
Buletin Candraditya, “Pusat penelitian Agama dan Kebudayaan Candraditya-Ledalero
Davies J.G., Worship and Mission, London:SCM Press Ltd, 1966
Gish, Art Living in Christian Community. Scottdale, USA: Herald Press, 1979
Hahn, Willem Worship and Congregation, London: Lutther Worth Press, 1963
Majelis Sinode, Bahasa dan Budaya sebagai Sarana Pembaharuan, Kupang: 2017
Middelkoop, P. Atoni Pah Meto, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980
……………… , Si Knino Unu Ma Muni, Bandung: n.d.
Perry, Micahel The Paradox of Worship, London: SPCK, 1977
Robinson J.A.T., Honest to God, London: SCM Press Ltd., 1963
Stolk, S.J, H.C. dalam Pembaharuan Liturgi, Seri Pastoral no.7, Yohyakarta; Pusat Pastoral, 1979
Ziegler, Edward K. A Book of Worship for Village Churches, New York: Agricultural Mission, Inc, 1946
Kuyper, Arie de, Missiologia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar